Entri Populer

METODE COERCIVE INTERROGATION OLEH PEMERINTAH AMERIKA SERIKAT DI PENJARA GUANTANAMO DIHUBUNGKAN DENGAN KONVENSI ANTI PENYIKSAAN TAHUN 1984

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Pada saat ini banyak pihak yang menuntut kepada pemerintah Amerika Serikat untuk segera menutup penjara Guantanamo, karena banyak pihak yang menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat menerapkan pola penyiksaan dan pemenjaraan yang diluar batas kemanusiaan. Sejak 2005, satu dokumen Departemen Kehakiman AS telah mensahkan dan membenarkan penggunaan teknik kekerasan dan yang mengakibatkan trauma dalam interogasi tersangka di dalam penjara Guantanamo.

Hampir semua penghuni penjara Guantanamo adalah tersangka kasus terorisme dari seluruh penjuru dunia, utamanya dari Saudi Arabia, Yaman, Pakistan, Afghanistan dan Syria, yang dianggap musuh dan mengganggu keamanan Amerika Serikat ). Tetapi yang perlu di tekankan adalah, mereka sebagai tahanan di dalam penjara Guantanamo masih sebagai tersangka terorisme, sehingga kebenarannya apakah mereka benar-benar sebagai pelaku terorisme masih menjadi pertanyaan. Penjara Guantanamo tidak hanya dipersiapkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menahan para tersangka terorisme saja, tetapi juga terhadap pihak-pihak yang oleh pemerintah Amerika Serikat dianggap membahayakan. Sebagian besar tersangka ditahan disana bertahun-tahun lamanya tanpa proses peradilan yang sah. Bahkan tanpa akses kepada penasehat hukum, keluarga, ataupun kepada badan badan internasional.

Para tahanan disana tidak dianggap Amerika Serikat sebagai tawanan perang, karena mereka dianggap bukan militer dari Negara lain yang sedang berseteru dengan Amerika Serikat. Per 10 Januari 2002 kamp ini mulai menerima tahanan yang dikategorikan Amerika Serikat sebagai `teroris` dan musuh dalam peperangan (enemy combatants) yang kemudian ditempatkan di tiga kamp masing masing Delta, Iguana dan X-Ray (belakangan ditutup). Sejak permulaan operasi `Enduring Freedom` di Afghanistan pada Oktober 2001 hingga kini, 775 orang telah ditahan di Guantanamo. Dari jumlah tersebut, 420 orang telah dilepaskan. Per 9 Agustus 2007 masih tersisa 355 tahanan. Dan per Januari 2008 ini masih tersisa 275 tahanan. Perlu diingat bahwa para tahanan yang berada di dalam Penjara Guantanamo juga termasuk orang-orang yang dituduh sebagai tersangka terorisme oleh pemerintah Amerika Serikat pasca agresi militer pemerintah Amerika Serikat ke Irak, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian tahanan yang ditahan di Penjara Guantanamo juga termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata.

Penjara Guantanamo adalah sebuah penjara militer yang berada di pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Teluk Guantanamo. Di luar masalah legitimasi terhadap keberadaan penjara dan alasan penahanan, Guantanamo juga menyimpan cerita tentang penistaan dan penyiksaan terhadap tawanan yang terburuk yang pernah dilakukan Amerika Serikat, disamping yang pernah terjadi di penjara Abu Ghraib, Irak. Paling tidak ada delapan macam jenis penyiksaan (torture) yang terjadi di Guantanamo ). Hal ini diperburuk dengan otorisasi Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld pada 16 April 2003, dimana ia menyetujui dilaksanakannya 24 jenis teknik interogasi (Coercive Interrogation) hanya terhadap tahanan di Guantanamo. Hal ini juga diperjelas dengan pernyataan kenegaraan dari dewan kongres Amerika Serikat tentang pemberlakuan Coercive Interrogation terhadap tersangka terorisme. Jenis coercive Interrogation tersebut antara lain :
  1. Random punishment; penghukuman hanya untuk kesalahan yang sepele semisal menaruh handuk pada tempat yang salah ataupun meletakkan sendok dan garpu pada posisi yang salah;
  2. Forced Nudity; alias tahanan ditelanjangi secara paksa untuk kebutuhan interogasi;
  3. Cultural attacks; semisal penghinaan terhadap Al Qur`an, larangan membaca Al Qur`an, dan godaan secara seksual oleh interogator perempuan dengan cara meraba tahanan ataupun menari sensual di hadapan tahanan, juga dengan menghalangi tahanan mengambil air wudhu untuk shalat;
  4. False Location; dengan cara menipu tahanan seolah-olah ia berada di negara lain, padahal masih berada di kamp Guantanamo;
  5. Load Music, Strobe Light and Extreme Temperatures; tahanan disiksa dengan suara musik yang keras, cahaya yang sangat terang, dan suhu yang sangat panas sementara badannya ditutupi dengan bendera Israel;
  6. Sleep manipulation; tahanan diinterogasi paksa ketika tengah tidur nyenyak, dan sel tahanan dirancang sedemikian rupa sehingga tahanan tak dapat tidur nyaman;
  7. Violence; bukan cerita baru bahwa banyak tahanan di Guantanamo yang mengalami penyiksaan ketika tengah diinterogasi. Bentuk penyiksaan seperti pemukulan ataupun menyiram wajah dengan merica adalah sesuatu yang lazim terjadi;
  8. Isolation; tahanan ditahan dalam ruang isolasi, mereka dilarang bicara dan dibatasi pergerakannya di luar ruang tahanan, apakah dengan ditutup mata (blindfolded) ataupun diborgol pergelangan tangannya.
  9. Water Boarding; tahanan diikat di sebilah papan, tangan dan kakinya diikat tali. Kepalanya ditutup dengan karung atau kain. Lalu air disiramkan secara terus menerus ke wajah si tahanan (terrifying simulated drowning).


Akibat penyiksaan dan perendahan derajat kemanusiaan ini, banyak terjadi upaya mogok makan dan bunuh diri di kalangan tahanan. Empat orang sudah didapati tewas karena bunuh diri dan puluhan lainnya terus melakukan percobaan bunuh diri dan mogok makan.Terlalu banyak pelanggaran HAM dan penyiksaan yang terjadi disana yang melampaui batas kemanusiaan dan melanggar hukum internasional. Amerika Serikat adalah peserta (state party) dari Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture), Konvensi Geneva 1949 yang mengatur antara lain tentang perlakuan terhadap tawanan perang, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang kesemuanya melarang penyiksaan dan perendahan martabat kemanusiaan atas alasan apapun. Bebas dari penyiksaan (freedom from torture) adalah bagian dari hak asasi manusia yang underogable (tak dapat diabaikan) dalam situasi apapun.

B. ANALISIS


1. Perbuatan Coercive Interrogation


Hukum Humanaiter Internasional tidak mengatur mengenai Coercive Interrogation. Di dalam Konvensi Jenewa tidak pernah disebutkan mengenai definisi dan pengaturan mengenai Coercive Interrogation. Menurut arti katanya, Coercive Interrogation adalah memaksa seseorang dengan tekanan untuk melakukan sesuatu dalam rangka memberikan pertanyaan-pertanyaan, dan di tujukan untuk mendapat pengakuan mengenai tindak kejahatan yang telah dilakukannya ). Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary, Coercive Interrogation menurut arti katanya adalah :
(a) Coercion
“compelling by force or arms or threat; it may be used actual, direct, as where phsyical force is used to compel act agints one’s will, or implied, legal or constructive, as where one party is constrained by subjugation to other to do what his free will would refuse.Coercion that vitiates confession can be mental as well as physical, and question is wheter accused was deprived of his free choice to admit, deny, or refuse to answer” ).

(b) Interrogation
“process of questions propound by Police to person arrested or suspected to seek solution of crime. Such person is entitled to be inform of hi rights to have counsel presents, and the consequences of his answer. If a Police are failed or neglect to give these warnings, the question and answer are not admissible in evidence at the trial or hearing of the arrested person.”

Suatu perbuatan dapat dikatakan Coercive Interrogation apabila di dalamnya terdapat :

(a) Adanya unsur paksaan atau kekerasan baik mental maupun fisik;
(b) Dalam rangka untuk mendapatkan informasi;
(c) Demi kepentingan keselamatan bersama.


Dalam perkembangannya Coercive Interrogation diberlakukan kepada teroris dimana dalam penerapannya tidak meruntut kepada hukum internasional yang belaku. Dalam Coercive Interrogation hak-hak para tawanan sangat dibatasi, bahkan ada beberapa hak yang sama sekali tidak diperkenankan, seperti hak untuk diam, hak untuk dikunjungi, hak untuk mendapatkan penjelasan, dan sebagainya . Pada esensinya Coercive Interrogation merupakan perlakuan terhadap seseorang oleh komandan, atau pejabat pemerintahan, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan tekanan dan paksaan .

Dalam FM 34-52 Departemen Pertahanan Amerika Serikat menyebutkan bahwa termasuk dalam kaitannya dengan mental coercion adalah penggunaan obat-obatan kepada para tahanan demi mendapatkan informasi dan pengakuan ). Dalam konteks hukum pidana, biasanya Coercive Interrogation adalah sebagai pertahanan terhadap tindak kejahatan atau sebagai bagian dari kejahatan itu sendiri, atau untuk mendapatkan pengakuan yang dapat digunakan di pengadilan.

Teknik interogasi dengan menggunakan Coercive Interrogation secara implisit diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam CIA Manual Interrogation Technique, yaitu seluruh Coercive Interrogation adalah digunakan untuk mengurangi perlawanan dari para tahanan yang sedang di interogasi, dan agar dapat keterangan atau informasi atau pengakuan yang akurat dari para tahanan tersebut. Pada saat ini komite hak asasi manusia memprotes tentang penerapan Coercive Interrogation, karena menurut komite hak asasi manusia penggunaan teknik kekerasan dan paksaan dalam proses interogasi merupakan satu langkah lebih dekat dengan tindak penyiksaan, sementara penyiksaan merupakan kejahatan yang dilarang oleh hukum nasional dan internasional ).

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumya, Amerika Serikat telah menyatakan bahwa mereka menerapkan teknik interogasi dengan metode Coercive Interrogation yang memiliki spesialisasi tertentu terhadap pihak-pihak yang dianggap membahayakan negara tersebut. Dalam pemaparan sebelumnya juga dapat diketahui bahwa metode ini syarat akan unsur-unsur pemaksaan, kejam, dan perlakuan yang diluar batas-batas kemanusiaan, dimana hal tersebut bertentangan dengan Konvensi Jenewa. Dalam pembahasan ini penulis akan mengkaji bentuk perbuatan yang ada dalam metode tersebut dalam kaitannya dengan ketentuan yang ada di dalam Konvensi Anti Penyiksaan, dan melihat apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan penyiksaan.Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan telah mengatur definisi dari penyiksaan itu sendiri, sebagai berikut :

“ Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku”.

Dalam hukum internasional, “penyiksaan” terjadi ketika seseorang dengan sengaja disakiti dengan parah atau dibuat menderita, biasanya dengan maksud untuk menghukum, mengintimidasi, memaksa, mendapatkan informasi ataupengakuan, atau dengan alasan apapun yang didasarkan atas diskriminasi ).

Unsur kekerasan, paksaan, perlakuan yang kejam dalam metode Coercive Interrogation dapat menimbulkan rasa sakit dan penderitaan yang hebat terhadap para tawanan di penjara Guantanamo. Bukan hanya secara fisik atau jasmani saja, adanya penghinaan terhadap budaya dan kebebasan beragama dari para tawanan juga merupakan siksaan terhadap rohani atau mental para tawanan. Meskipun dalam Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan tidak menyebutkan definisi yang spesifik perbuatan-perbuatan seperti apa sajakah yang tergolong ke dalam suatu tindakan penyiksaan. Tetapi apabila tindakan tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan dalam Pasal 1 tersebut, seperti perbuatan yang menimbulkan penderitaan dan rasa sakit yang hebat dan bertujuan untuk medapatkan informasi, maka perbuatan tersebut dapat digolongkan sebagai suatu tindakan penyiksaan menurut Konvensi ini. Disamping itu, suatu lembaga Hak Asasi Manusia Internasional (Human Rights Watch) dalam menyikapi keadaan yang terjadi terhadap para tahanan di dalam penjara Guantanamo, dan berdasarkan pengamatan mereka, telah mengumumkan beberapa metode Coercive Interrogation yang diberlakukan di penjara Guantanamo yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan penyiksaan seperti ; Beating; Sleep Deprivation;, Water Boarding; Humiliation; Denial of Food and Water; Stripping; Forced Painfull Position; Slapping; Solitary Confinement; yang semua tindakan tersebut diberlakukan di penjara Guantanamo dalam metode Coercive Interrogation.

Suatu bentuk tindakan penyiksaan biasanya terjadi pada saat penahanan dan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi, pengakuan, atau sebagai hukuman terhadap para tahanan ). Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan juga menyebutkan bahwa suatu tindakan penyiksaan dilakukan untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi.

Disebutkan juga dalam Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan bahwa suatu perbuatan tergolong penyiksaan apabila apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa pemerintah Amerika Serikat telah secara resmi memberlakukan metode Coercive Interrogation
terhadap para pihak yang dianggap membahayakan negaranya. Presiden George W. Bush sudah berulang kali menyatakan pernyataan kenegaraannya yang membenarkan pemberlakuan metode ini di penjara Guantanamo. Sebelumnya juga telah terjadi bentuk perlakuan yang sama di Penjara Abu Ghraib yang kemudian ditutup atas kecaman masyarakat internasional karena dinilai terlalu kejam dan tidak manusiawi. Dalam laporan tahunan kongres Amerika Serikat juga dibenarkan tentang adanya perlakuan Sleep Deprivation; Water Boarding; dan Stress Position dalam metode Coercive Interrogation. Ditambah lagi dengan perlakuan-perlakuan lain yang dilakukan oleh pejabat-pejabat militer Amerika Serikat selama di penjara Guantanamo.

Ketika perlakuan tersebut datang dari pejabat publik negara, atau berupa pesetujuan, atau hanya sebatas sepengetahuan pejabat publik saja, maka jika perbuatan tersebut mengandung unsur kekerasan, membawa dampak penderitaan fisik dan mental terhadap tahanan, serta dengan tujuan untuk mendapatkan informasi, maka metode Coercive Interrogation tersebut telah memenuhi unsur-unsur Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyiksaan. Suatu perlakuan atau perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu tindakan penyiksaan apabila menyebabkan penderitaan mental dan fisik terhadap orang lain atau sekelompok orang, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi, intimidasi atau tekanan, hukuman, atau dengan alasan diskriminasi lainnya, dan dilakukan oleh pejabat publik yang memiliki kewenangan ).

Segala macam bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dalam segala hal dan keadaan merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia internasional. Metode Coercive Interrogation sangat memenuhi unsur-unsur pasal 1 Konvensi ini, dimana ketika suatu perbuatan telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal ini maka, metode tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak penyiksaan dan dilarang dibawah Konvensi ini. Dalam Pasal 2 ayat 2 Konvensi Anti Penyiksaan juga telah disebutkan bahwa:

“ Tidak terdapat pengecualian apapun baik itu dalam keadaan perang, atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau maupun keadaan darurat lainnya, yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.”

Dengan begitu jelas bahwa meskipun Amerika Serikat dalam keadaan perang ataupun ancaman perang ataupun dalam keadaan darurat (State Emergency) tetap tidak ada alasan pembenar apapun untuk pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan tindakan penyiksaan terhadap para tahanan di penajara Guantanamo. Dalam keadaan perang, atau keadaan dimana negara dalam keadaan darurat, setiap negara memiliki hak untuk mengesampingkan hak-hak orang lain tetapi hal tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam konvensi lain, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 Kovenan Internasional Hak-hak Sosial dan Politik ). Sehingga jelas bahwa, meskipun dalam keadaan perang atau dalam keadaan darurat setiap negara tetap tidak berhak untuk melaukan yindak penyiksaan sebagaimana yang telah diatur dan dilarang dalam Konvensi Anti Penyiksaan.

2. Akibat Hukum Yang Diterima Oleh Negara Pelaku Coercive Interrogation Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional


Dalam pembahasan sebelumnya terbukti bahwa Amerika Serikat telah menerapkan metode Coercive Interrogation dimana metode tersebut mengandung unsur penyiksaan sebagaimana yang telah diatur dalam Konvensi Anti Penyiksaan, dan terlebih lagi merupakan pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional. Pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum internasional tersebut menimbulkan tanggung jawab negara ) dan atas tanggung jawab tersebut terdapat akibat hukum terhadap Negara tersebut.

Pelanggaran oleh suatu Negara atas kewajiban internasional yang menyangkut kepentingan fundamental masyarakat internasional diakui sebagai bentuk Kejahatan Internasional dan pelanggaran tersebut diakui sebagai kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut secara keseluruhan ), dan salah satunya yang tergolong ke dalam kejahatan internasional adalah bentuk pelanggaran serius berskala besar terhadap kewajiban internasional berkenaan dengan pentingnya perlindungan pengamanan umat manusia ). Dan pelanggaran tersebut tetap menimbulkan pertanggung jawaban terhadap negara pelaku walaupun bentuk pelanggaran tersebut sah menurut hukum nasionalnya. Tanggung jawab negara ini tidak hanya timbul dari pelanggaran kontraktual antar dua negara saja, melainkan atas adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap suatu ketentuan hukum internasional yang dilakukan oleh pejabat negara (State Official). Hal ini diatur dalam Draft ILC Pasal 7, dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan oleh pejabat negara (State Official) dan atas jabatannya, maka Negara juga turut bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.

Sesuai dengan doktrin Imputabilitas (Imputability doctrine) dimana negara bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah; setiap sub-divisi politik dari negara; setiap lembaga, pejabat perwakilan resmi atau pewakilan lain pemerintahannya atau setiap sub-divisi yang bertindak dalam lingkup pekerjaan mereka ). Jadi, ketika Amerika Serikat menerapkan metode interogasi dengan cara Coercive Interrogation yang sah menurut hukum nasional Amerika Serikat, namun apabila metode tersebut merupakan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah Hukum Humaniter Internasional dan kaidah Hukum Internasional lainnya, maka tetap menimbulkan tanggung jawab bagi negara Amerika Serikat terhadap pelanggaran yang telah dilakukan tersebut.

Amerika Serikat merupakan salah satu negara pihak Peserta Agung Konvensi Jenewa dan telah meratifikasi Konvensi Jenewa, dimana ketika suatu negara telah menyatakan terikat dengan suatu traktat internasional, maka negara tersebut telah terikat dengan segala macam ketentuan dalam traktat tersebut. Hal ini sesuai dengan asas perjanjian internasional yaitu Pacta Sunt Servada, yang menyebutkan bahwa ketentuan dalam suatu perjanjian internasional maka berlaku dan mengikat sebagai undang-undang bagi negara yang meratifikasinya ).

Sejalan dengan pengertian tersebut, maka sudah jelas bahwa ketentuan dalam Konvensi Jenewa berlaku sebagai undang-undang terhadap Amerika Serikat, dan Amerika Serikat berkewajiban untuk mematuhi ketentuan dalam Konvensi Jenewa. Dalam ketentuan umum Pasal 1 Konvensi Jenewa III telah disebutkan bahwa para pihak Peserta Agung telah berjanji untuk menghormati dan menjamin penghormatan Konvensi ini dalam segala keadaan.

Dalam artikel tersebut secara tegas dinyatakan bahwa pihak Peserta Agung tidak hanya akan menghormati Konvensi ini, tetapi juga akan menjamin bahwa Konvensi ini akan dihormati; dengan perkataan lain, suatu Negara tidak cukup hanya dengan memerintahkan kepada para petugas militer atau sipil untuk mentaati Konvensi, tetapi juga harus mengawasi pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan tersebut. Penghormatan tersebut tidak hanya cukup dengan tidak melakukan pelanggaran terhadap Konvensi saja, melainkan juga mengambil tindakan-tindakan yang perlu terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi termasuk dalam lapangan hukum nasional dari negara tersebut ).

Dalam penjabaran sebelumnya telah terbukti bahwa metode Coercive Interrogation yang dilakukan Amerika Serikat di penjara Guantanamo merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa. Adanya unsur kekerasan, paksaan, hingga kepada bentuk perlakuan penyiksaan membuat metode tersebut bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam Konvensi Jenewa khususnya hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan dan perlakuan terhadap tahanan. Dalam Pasal 129 Konvensi Jenewa III mengatur tentang kewajiban negara untuk menerbitkan peraturan yang berkaitan dengan persoalan ini, serta berkewajiban untuk mencari, menangkap, dan mengadili pelaku pelanggaran terhadap ketentuan dalam Konvensi ini; sebagaimana yang diatur pula di dalam Pasal 142 Konvensi Jenewa IV.

Dengan begitu jelas bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap hukum humaniter yang terjadi dalam metode Coercive Interrogation dengan cara mencari, menangkap, serta mengadili pihak-pihak yang berkaitan dengan pelanggaran tersebut. Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh pejabat pemerintahan Amerika Serikat maka dengan prinsip Imputabilitas, atas nama negara Amerika Serikat tetap bertanggung jawab atas kejahatan perang tersebut. Dan apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh pelaku atas otoritas dari pejabat diatasnya, maka akan berlaku prinsip tanggung jawab komando, sehingga sekalipun ia sebagai Presiden atau pejabat militer lainnya tetap dapat diadili berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Amerika Serikat bertanggungjawab penuh atas segala macam pelanggaran yang terjadi di dalam penjara Guantanamo, khususnya mengenai tindakan penyiksaan yang dilakukan dalam metode Coercive Interrogation terhadap tahanan. Pertanggungjawaban dari tindak kekerasan ini tidak cukup hanya berhenti pada penutupan penjara tetapi harus diikuti dengan proses hukum terhadap para pelaku, atasannya dan pengambil kebijakan dari tindakan penahanan sewenang-wenang dan penyiksaaan ini. Karena para tahanan inipun sebelumnya tidak pernah melalui proses hukum yang kompeten dan independen.

Amerika Serikat bertanggung jawab untuk segera menghentikan segala macam pelanggaran yang terjadi di penjara Guantanamo, termasuk menghentikan penggunaan metode Coercive Interrogation terhadap para tahanan yang mengandung unsur penyiksaan dan perlakuan lain yang diluar batas-batas kemanusiaan. Serta bertanggung jawab untuk segera menangkap dan mengadili semua pihak yang bertanggungjawab atas pelanggaran dalam metode tersebut. Apabila pemerintah Amerika Serikat tidak melakukan kewajibannya atas pelanggaran tersebut, maka negara yang merasa dirugikan atau merasa bahwa warga negaranya telah menjadi korban atas tindakan penyiksaan tersebut dapat mengajukan tuntutannya ke Mahkamah Internasional (ICJ) terhadap kelalaian Amerika Serikat tersebut.

Metode Coercive Interrogation dilakukan oleh pejabat militer Amerika Serikat di penjara guantanamo dan atas otorisasi dari Presiden G.W. Bush .124 Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, bahwa negara memiliki kewajiban untuk menangkap dan mengadili pelaku pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam Konvensi Jenewa. Dalam hukum humaniter internasional juga dikenal adanya prinsip tanggung jawab komando, dimana seorang komando berkewajiban untuk mencegah bahkan menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai pelanggaran terhadap Konvensi ini ).

Serta kelalaian seorang komando dalam melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang terjadi juga menimbulkan pertanggungjawaban atas kelalaiannya tersebut. Hal tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat 3 ICTY, bahwa kelalaian untuk mengambil tindakan atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh bawahan yang seharusnya diketahuinya, atau telah diketahuinya tetap menimbulkan pertanggungjawaban komando di depan hukum. Sebagaimana yang telah terjadi dengan salah satu pejabat militer Amerika Serikat yaitu, Donald Rumsfeld, dimana ia di pidana karena terbukti telah memberikan otorisasi kepada bawahannya untuk melakukan metode Coercive Interrogation yang mengandung unsur-unsur penyiksaan terhadap tahanan.

Atas kewenangannya tersebut Donald Rumsfeld dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap kebiasaan dan hukum perang, terutama pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa. Terlebih lagi, ia juga telah terbukti melakukan penyiksaan pada saat interogasi kepada tahanan Iraq, Hamdan a Yemeni, seorang prajurit Iraq. Namun dari sekian banyak pejabat militer Amerika Serikat yang telah melakukan tindakan Coercion, hanya Donald Rumsfeld yang ditahan dan diadili, sedangkan yang lainnya tidak. Padahal mereka terbukti telah melakukan ataupun memberikan kewenangan untuk melakukan coercvie interrogation kepada tahanan di penjara Guantanamo.

Berdasarkan prinsip tanggung jawab komando Presiden George W. Bush juga tidak terlepas dari anggung jawab pidana atas otorisasinya terhadap bawahannya untuk melakukan metode Coercive Interrogation kepada tahanan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat 2 statuta ICTY, bahwa meskipun menjabat sebagai pejabat pemerintahan, atau kepala negara sekalipun, dan pihak yang bertanggung jawab atas suatu lembaga pemerintahan, tidak melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran internasional yang telah dilakukannya. Terhadap Presiden George W. Bush, jabatan kepresidenan yang dimilikinya tidak menimbulkan kekebalannya terhadap hukum dan tidak melepaskannya terhadap pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggaran kemanusiaan yang telah terjadi. Ia tetap dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas otorisasinya sebagai Presiden dengan memberikan kewengan kepada bawahannya untuk menerapkan metode Coercive Interrogation dimana metode tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan dalam Konvensi Jenewa dan Konvensi Anti Penyiksaan, serta kaidah-kaidah hukum internasional lainnya yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

C. KESIMPULAN


Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :
  1. Bentuk perbuatan dalam metode Coercive Interrogation seperti Beating; Sleep Deprivation;, Water Boarding; Humiliation; Denial of Food and Water; Stripping; Forced Painfull Position; Slapping; Solitary Confinement; telah memenuhi unsur Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan dimana perbuatan tersebut termasuk ke dalam bentuk penyiksaan terhadap seseorang dan dilarang dibawah Konvensi ini. Meskipun Konvensi Anti Penyiksaan tidak menyebutkan secara spesifik bentuk-bentuk perbuatan apa saja yang dapat digolongkan sebagai bentuk tindakan penyiksaan menurut Konvensi ini, tetapi dengan melihat unsur-unsur penyiksaan dalam Pasal 1 Konvensi ini, maka perbuatan tersebut tergolong sebagai suatu bentuk penyiksaan. Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 Konvensi Anti Penyiksaan, bahwa dalam keadaan apapun tidak ada alasan pembenar untuk melakukan penyiksaan terhadap orang lain. Begitupun dengan Amerika Serikat, meskipun mereka dalam keadaan darurat ataupun perang, tetap tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk melakukan penyiksaan terhadap tahanan.
  2. Metode Coercive Interrogation merupakan bentuk pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa, Konvensi Anti Penyiksaan, dan kaidah-kaidah hukum internasional lainnya. Dan ketika Amerika Serikat menerapkan metode tersebut di dalam penjara Guantanamo, maka Amerika Serikat telah melakukan pelanggaran hukum internasional. Hal ini mengakibatkan Amerika Serikat bertanggung jawab atas segala pelanggaran yang telah dilakukan kepada tahanan di penjara Guantanamo, khususnya mengenai perlakuan terhadap tahanan. Pertanggungjawaban dari tindak kekerasan ini tidak cukup hanya berhenti pada penutupan penjara tetapi harus diikuti dengan proses hukum terhadap para pelaku, atasannya dan pengambil kebijakan dari tindakan penahanan sewenang-wenang dan penyiksaaan ini. Karena para tahanan inipun sebelumnya tidak pernah melalui proses hukum yang kompeten dan independen.
 Written By : Barlian Siblum, SH, MH.

Perbandingan Teori Hukum Roscoe Pound & Friedrich Karl von Savigny dalam Pembentukan dipandang dari Perspektif Politik Hukum

Pendahuluan
Menurut C. F. Strong, politik hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang negara. Politik dan hukum sangat berhubungan karena ada intervensi politik terhadap hukum, politik kerapkali melakukan intervensi terhadap pembentukan dan pelaksanaan hukum.
Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi melakukan social control, dispute settlement, dan social engineering atau inovation.

Teori Roscoe Pound
“Law is a tool of a social engineering”.
Adalah seperti apa yang dikatakan oleh Roscoe Pound tentang hukum. Persis sama seperti yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum itu merubah masyarakat.
Dalam perspektif politik hukum, jika menurut Roscoe Pound hukum itu berasal dari atas ke bawah (top down) maksudnya disini adalah hukum itu berasal dari pemerintah untuk dijalankan oleh masyarakat karena hukum butuh regulasi dari pemerintah.

Teori Friedrich Karl von Savigny
“Law is and expression of the common consciousness or spirit of people”.
Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke). Kalau sudah begitu menurut von Savigny (volkgeist), hukum itu lahir dari jiwa masyarakat yang mengakomodasi masyarakat.
Jadi, disini undang-undang itu berasal dari masyarakat dan sebagai perwakilannya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengajukan undang-undang tersebut. Disebut juga bottom up atau dari bawah ke atas. Bagian bawah rakyat dengan DPR sebagai perwakilannya ke Pemerintah sebagai penyelenggara negara.
 
Permasalahan
Yang menjadi permasalahan dari pokok pembicaraan ini, yaitu : Teori yang dipakai oleh Indonesia dalam konteks pembentukan hukumnya; dan contoh perundang-undangan yang menggunakan top down dan bottom up.

Teori yang Dipakai dalam Pembentukan Hukum di Indonesia. Dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan dalam Bab X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu seperti yang diatur dalam Pasal 53.

Menurut peraturan per-undang-undangan yang disebutkan di atas, kenyataannya menunjukkan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Teori yang dipakai dalam hal pembentukan hukum adalah teori Friedrich Karl von Savigny (volkgeist). Bahwa undang-undang dibentuk dari jiwa masyarakat karena masyarakat diikutkan partisipasinya untuk menyampaikan aspirasinya seperti yang diperintahkan oleh undang-undang.

Pembentukan hukum di Indonesia selalu dipengaruhi oleh suatu kepentingan-kepentingan. Kekuasaan politiklah yang memiliki kepentingan tersebut. Kekuasaan politik tersebut duduk di dalam institusi untuk melakukan legislasi kepentingan. Jadi, kekuasaan politik dapat mempengaruhi hukum. Tapi, pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan check and balances , seperti yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan.

Dalam hal ini pemerintah yang membuat undang-undang untuk dijalankan masyarakat, lebih kepada suatu rekayasa sosial. Jadi, pada kenyataannya pembentukan hukum di Indonesia menggunakan teori Roscoe Pound (social engineering) yang top down.

Contoh Peraturan Per-Undang-Undangan
Dalam hal ini dapat kita lihat terlebih dahulu dengan teori Roscoe Pound (social engineering), yaitu : Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada Pasal 7 Ayat (1). Pemerintah melakukan rekayasa sosial untuk memperlambat laju pertumbuhan penduduk di Indonesia dengan menentukan umur perkawinan.
Jika melihat teori dari Friedrich Karl von Savigny (volkgeist), yaitu : Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Disini masyarakat tidak menginginkan adanya monopoli perdagangan, jadi sebagai perwakilannya DPR mengajukan RUU tersebut untuk disahkan oleh Presiden.

Kesimpulan
Pada tulisan ini dapat diambil kesimpulan bahwa pembentukan peraturan per-undang-undangan di Indonesia menggunakan teori Roscoe Pound, dikarenakan kurangnya inisiatif DPR dalam mengajukan RUU yang mementingkan kepentingan masyarakat.

Penulis: Agung Yuriandi

Judicial Discretion dan Mafia Peradilan

Putusan PN Jakarta terkait SKPP yang diterbitkan Kejaksaan Agung atas kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamza (dua pimpinan KPK) mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Bahkan ada yang menilai putusan PN Jakarta Selatan itu berindikasi pelemahan terhadap KPK. Kecurigaan terhadap putusan pengadilan bukanlah hal yang baru di negeri ini, namun tanpa disadari telah melemahkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan terhadap lembaga pengadilan, disamping beberapa peristiwa diseputar dunia peradilan lainnya.

Tidak hanya putusan hakim, proses pemeriksaan perkara di pengadilan pun tidak jarang menjadi perdebatan kalangan hukum. Misalnya saja, peristiwa walk-out tiga orang hakim ad-hoc Pengadilan Tipikor yang memeriksa perkara mantan hakim yang menjadi penasehat hukum Probosutedjo, Harini Wijoso. Aksi walk-out itu dilakukan karena ketua Majelis menolak memanggil Ketua Mahmakah Agung sebagai saksi dalam perkara tersebut sebagaimana diminta Jaksa Penuntut Umum.

Peristiwa walk-out tiga orang hakim Pengadilan Tipikor itu memang tidak dalam perspektif mafia peradilan, tetapi berkorelasi dengan tidak berkembangnya dengan baik apa yang disebut dengan judicial discretion yaitu sikap imparsial dan independen dalam memutus perkara. Sebaliknya, dalam konteks putusan PN Jakarta Selatan atas kasus Bibit-Candra yang berlansung dalam perspektif judicial discretion, justeru dicurigai adanya indikasi pelemahan terhadap KPK, bakan putusan hakim tersebut dinilai janggal.

Dua peristiwa hukum yang dinukil di atas, ingin menegaskan, bahwa soal judicial discretion tampaknya cenderung dipertalikan dengan soal-soal judicial corruption (Mafia Peradilan). Ini terutama ketika sebuah putusan pengadilan dinilai tidak sesuai dengan harapan publik atau tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Bahkan pada saat hiruk-pikuk mengenai judicial corruption. menjadi fokus pembicaraan publik dimana-mana dalam berbagai kesempatan soal judicial discretion “sepertinya” terlupakan dalam semangat pemberantasan judicial corruption.

Betapa pun pentingnya upaya pemberantasan judicial corruption, tetapi optimalisasi judicial discretion menjadi salah satu faktpr pencapaian keberhasilan pemberantasan mafia peradilan. Dalam konteks ini, janganlah dilupakan, bahwa kekuasaan peradilan tidak pernah dieksekusi untuk tujuan memberlakukan kehendak hakim, selalu untuk tujuan memberlakukan kehendak legislatif, atau, kehendak hukum.

Mafia peradilan mestinya sudah sejak lama berakhir atau tidak se”mencengangkan” seperti sekarang, jika judicial discretion tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan peradilan. Berdasarkan undang-undang pokok kehakiman yang baru tidak seorang pun –termasuk presiden-- bisa ikut campur tangan dalam soal-soal pengadilan. Demikian pula halnya dengan kekuatan politik, tekanan massa dan sebagainya tidaklah dapat mempengaruhi putusan pengadilan. Dalam konteks ini, jika saja judicial discretion tidaklah sebatas adanya sistem peradilan satu atap, tetapi substansinya tumbuh dan berkembangan dalam bentuk sistem peradilan yang berkualitas dan mampu memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi pencari keadilan.

Dengan judicial discretion, harapannya adalah hakim akan berprilaku impartial serta menerapkan fair trial memutus perkara dengan jujur dan adil sesuai hati nuraninya berdasarkan hukum yang berlaku. Artinya, berkembangnya judicial discretion secara subtantif, menjadi “batu sandungan” bagi setiap usaha terjadinya mafia peradilan. Pihak-pihak dalam berperkara di pengadilan akan memaikan perannya dengan satu-satunya andalan mereka mempertajam dan memperkuat argumentasi hukum dari perkara yang ditanganinya.

Persoalannya menjadi lain, ketika judicial discretion tumbuh dan berkembang hanya sebatas formalitas dan bersifat strukrural. Pengadilan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan tidak dipercaya, dan bahkan lebih buruk lagi berkembang menjadi judicial corruption. Dalam konteks ini, maka kompleksitas persoalan mafia peradilan memerlukan pengkajian mendalam ketika ditilik dari perspektif judicial discretion. Misalnya soal putusan PN Jakarta Selatan atas SKPP kasus Bibit-Candra, nuansanya akan berbeda dengan kasus Gayus yang menghebohkan itu.

Banyak argument yang bisa diajukan untuk memahami, mengapa mafia peradilan sistemik di Indonesia., tetapi intinya tidak lain karena prinsip-prinsip dasar penegakkan hukum dikesampingkan. Satu diantaranya adalah tidak berkembangnya judicial discretion yang implikasinya keputusan pengadilan tidak dihormati, dipersoalkan, bakan hidup dalam penerimaan pro-kontra dalam masyarakat. Kewibawaan pengadilan dan putusannya melemah. Idealnya, apabila Judicial discretion berkembang dengan baik, maka keitdak puasan terhadap putusan pengadilan hanyalah semata-mata mengenai soal yang sangat prinsip dan bukan pada adanya kekhilafan dan kesalahan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Konsekuensinya, tentulah suatu perkara yang diajukan ke pengadian hanyalah perkara yang benar-benar memiliki bukti yang kuat dan tidak hanya besandar pada bukti yang cukup, apalagi kemudian yang dominan adalah “semangat untuk menghukum”.

Setiap orang yang berperkara di pengadilan akan menyadari dimana kelemahan dari kasus yang diajukan atau ditanganinya dan bukan sebaliknya, tidak puas dengan putusan pengadilan. Namun untuk sampai ke tingkat serupa itu tidak mudah, ketika judicial discretion “terpuruk” dalam proses peradilan atau judicial discetion diintervensi oleh kekuasan politik dan dihadapkan pada tekanan publik.

Disisi lain adalah soal kepastian hukum, dimana putusan pengadilan di Indonesia sulit diprediksi. Perkara yang sama bisa diputus berbeda oleh pengadilan yang sama. Kepastian hukum bukan hanya soal debatable dengan rasa keadilan masyarakat secara akademik, tetapi tampaknya berkembang menjadi ketidak-pastian hukum. Hal ini tidak terlepas dari tidak berkebangnya judicial discretion dengan baik dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Karena itu, dalam upaya pembehanan dunia penegakkan hukum di Indonesia, maka judicial discretion seharusnya berjalan secara integral dan seimbang dengan upaya pemberantasan judicial corruption

Penulis: Boy Yendra Tamin

Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Perdata

A. Latar BelakangKeberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) masih sering memicu munculnya berbagai macam pena.....
A. Latar Belakang

Keberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) masih sering memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini merumuskan “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah: (g) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”.
Artinya, pasal ini menjelaskan bahwa salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat diselesaikan dan diputus melalui mekanisme PTUN adalah Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dalam tafsir yang paling sederhana, bahwa selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam PTUN.

Namun ternyata Mahkamah Agung memberikan makna lain. Lewat Surat Edaran No 8 Tahun 2005, Mahkamah Agung memberikan tafsir bahwa semua SK KPU yang terbit pada semua tahapan pemilu tidak dapat diproses di PTUN, termasuk SK yang tidak terkait dengan hasil Pemilihan Umum. Pada butir 2 SEMA disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g UU PTUN, maka keputusan atau penetapan (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili. Menurut SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengenai hasil pemilihan umum, haruslah diartikan meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan umum. Sebab, apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan. Bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA juga menunjuk putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18 Agustus 2004 sebagai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

Namun sikap Mahkamah Agung tidak bertahan lama. Tahun 2010, Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan Pasal 2 huruf g UU PTUN. Secara substansi, materi SEMA No. 7 Tahun 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA No. 8 Tahun 2005. Bahkan materi SEMA No. 7 Tahun 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi SEMA No. 8 Tahun 2005.

Namun SEMA membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum. Dengan demikian SEMA No. 7 Tahun 2010 mengatur bahwa keputusan-keputusan yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

Munculnya SEMA No. 07 Tahun 2010 memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa PTUN kemudian mengalami lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di daerah berlangsung secara intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan hukum, termasuk persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek gugatan di PTUN dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon menjadi Calon Tetap. Beberapa pihak atau pasangan tertentu yang merasa tidak diloloskan KPUD dalam verifikasi Bakal Calon berusaha menggugat Keputusan KPUD tentang Penetapan Calon melalui PTUN. Harapannya, PTUN membatalkan SK Penetapan tersebut dan KPUD dapat mengakomodir pasangan untuk ikut berkompetisi dalam Pilkada.

Seiring banyaknya perkara pemilukada yang masuk PTUN akhir-akhir ini, maka beberapa persoalan penyelesaian secara yuridis formil juga mulai muncul. Salah satunya adalah mekanisme penerapan tenggang waktu mengajukan gugatan ke PTUN dalam perkara Pemilukada. Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 menerangkan bahwa ‘Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara’. Dalam perkara No. 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa terlihat ada problem penerapan tenggang waktu pasal 55 UU PTUN dalam perkara Pilkada. Pada kasus ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD tentang Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tidak melalui verifikasi yang cermat dan valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat tahapan Pemilukada sudah selesai, yakni setelah pelantikan calon terpilih. Penggugat mengklaim, gugatannya masih dalam tenggang waktu mengingat Penggugat baru sadar dan tahu kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK itu setelah pelantikan berlangsung dan masih dalam tenggang waktu 90 hari.

B. Permasalahan

Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN Makassar, gugatan ini menyisakan persoalan pokok. Apa itu? Gugatan perkara Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu namun tahapan pilkada tetapi sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada. Selain itu, gugatan yang muncul pada tahapan akhir pilkada atau bahkan selesainya semua tahapan pilkada akan memicu gejolak sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalannya adalah bagaimana mencari titik temu atau solusi antara tahapan pilkada yang telah terjadwal dan terus berjalan dengan munculnya gugatan PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari.

Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan, yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus Pilkada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat KPUD Gowa No. 01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009 tanggal 21 Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan penetapan calon berakhir 21 April 2010 dan penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya, tenggang 90 hari menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan kepentingannya dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan pasangan pemenang.
P
C. Pembahasan

Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN menjadi penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan tata usaha negara (Marbun, 2003: 189).

Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara PTUN menurut pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat apabila dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Demikian pula menurut putusan Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972. Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973 (Marbun: 171).

Berdasarkan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan sebuah KTUN (pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan bagi pihak ke III yang berkepentingan, maka tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu diumumkan. Yang menjadi masalah, dalam praktek pemerintahan, belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara pengumuman suatu KTUN. Hal ini berpotensi merugikan pihak ketiga yang sesungguhnya punya kepentingan terhadap terbitnya KTUN, namun tidak mengetahui secara langsung. Berdasarkan kondisi demikian, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang pada pokoknya mengatur bahwa bagi pihak ketiga yang tidak dituju KTUN, penghitungan 90 hari adalah sejak bersangkutan mengetahui keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut.

Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa kepentingannya dirugikan. Dengan SEMA tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun silam. Dalam konteks perkara PTUN yang terkait dengan Pilkada, maka substansi SEMA No. 12 Tahun 1991 inilah yang berpotensi memicu lahirnya ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada. Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ketiga dapat saja mengajukan gugatan selama 90 hari sejak kepentingannya dirugikan meskipun pada faktanya tahapan pilkada sudah akan berakhir atau bahkan sudah selesai.

Dalam kasus Pilkada Gowa di atas, partai-partai pengusung Andi Maddusila baru merasa kepentingannya dirugikan ketika Badan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa anggota KPUD Gowa. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kesalahan yang dilakukan KPUD Gowa dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan tersebut berupa lolosnya bakal calon yang diduga tidak memenuhi syarat secara formal. Kesalahan KPUD menjadi titik awal bahwa ada kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang dirugikan. Padahal informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan pilkada sudah selesai.

Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam rentang waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya akan semakin banyak ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada adalah peristiwa politik. Faktor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial. Kondisi ini kemudian berhadapan dengan kinerja KPUD mengelola penerbitan KTUN yang terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah ada pihak berusaha menggugat KTUN yang merugikan.

Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja. Adalah hak setiap orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam peristiwa politik seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam pasal 55 merupakan rentang waktu yang cukup lama. Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN serta mengganggu proses pemilihan. Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum diatur proses hukum yang berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.

Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka waktu ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa pemilukada ke Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus dilaporkan paling lambat 7 hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan jangka waktu gugatan sengketa pemilukada dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima

Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan tenggang waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan penulis, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku. Dalam konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus dimaknai secara hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum. Namun ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa Pemilukada --yang mana tahapan Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat-- ketentuan tenggang waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam sengketa pemilukada. Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, maka tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan.

Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk tetap memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses pelaksanaan pemilu atau pemilukada tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada, penerapan pasal 55 UU PTUN amat sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan Pemilukada Gowa di PTUN Makassar, penggugat menggugat Keputusan KPU tentang penetapan calon Bupati Gowa karena ada calon yang semestinya tidak lolos tetap lolos. Rationya adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang dianggap tidak sah, maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda (schorsing) sebelum tahap pelaksanaan pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu baru diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan suara, berarti obyek gugatan sudah “terlanjur” dilaksanakan KPU/KPUD sudah tidak efektif lagi.

Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang bukan menjadi wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya dengan mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang terjadi pada tahap persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan atau pencoblosan), tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan hasil penghitungan suara.

Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak berkesudahan apabila pasal 55 UU PTUN masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu menggugat tanpa memberikan pilihak spesialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada. Dengan adanya peluang menggugat, maka secara hukum pada para pencari keadilan tetap melekat hak untuk menggugat. Dalam posisi itu secara hukum juga terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga keluar dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila pasal 55 UU PTUN tidak memberikan pilihan eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, lahirnya SEMA no 7 tahun 2010 tentang pemilukada menimbulkan dinamika dan beberapa persoalan baru dalam penerapan hukum acara, khususnya yang terkait dengan Pemilukada. Salah satu persoalan yang muncul adalah penerapan pasal 55 UU PTUN tentang tenggang waktu dalam kasus pemilukad.

Kedua, pasal 55 dalam UU PTUN berpotensi memberikan ketidakpastian hukum bagi tahapan pilkada, terutama tahapan pilkada yang tidak terkait dengan hasil pemilihan. Hal tersebut dapat terjadi karena rentang waktu 90 hari yang diatur dalam pasal 55 terhitung cukup lama apabila dihubungkan dengan tahapan pemilukada yang harus berlangsung cepat dan memerlukan kepastian hukum.

Ketiga, terlepas secara rasionalitas eksekusi atau penerapan hukum yang tidak mudah dilakukan akibat adanya tenggang waktu menggugat yang cukup lama dalam pemilukada (90 hari), namun apabila ketentuan 90 hari masih berlaku, maka hak menggugat bagi pencari keadilan juga masih berlaku.

Keempat, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Artinya, tenggang waktu dalam pasal 55 harus memberikan ruang khusus bagi kasus sengketa pemilukada.

Adapun rekomendasi yang diajukan penulis adalah:
Tenggang waktu bagi perkara hukum administrasi tetap menjadi penting. Namun dalam perkara pemilukada, penerapan tenggang waktu harus diberlakukan secara singkat, yakni cukup dalam rentang 7 hari sejak KTUN diterbitkan dan diumumkan.

Oleh karena itu, diperlukan judicial review terhadap pasal 55 UU PTUN dengan mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 (tujuh) hari sejak keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan.

Penulis; Irvan Mawardi
Sumber: http://hukum.bunghatta.ac.id

Hukum Yang Berlaku di Indonesia

Hukum  Indonesia

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Hukum Perdata Indonesia

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.

Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:

* Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
* Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
* Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
* Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.

Hukum pidana Indonesia

Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).

Hukum tata negara

Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara.

Hukum tata usaha (administrasi) negara

Hukum tata saha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara

Hukum acara perdata Indonesia

Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata.

Hukum acara pidana Indonesia

Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.

Asas dalam hukum acara pidana

Asas didalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:

* Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
* Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
* Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
* Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
* Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.

Hukum antar tata hukum

Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.

Hukum adat di Indonesia

Artikel utama: Hukum Adat di Indonesia

Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah.

Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena akan bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia itu sendiri. Hukum Islam berasal dari Al Quran, sedangkan hukum di Indonesia berasal dari Pancasila dan UUD 1945. Dalam hukum Islam, berzina dihukum rajam, sedangkan di Indonesia berzina hukumannya adalah penjara, jadi dalam hukum Islam tidak mengenal penjara, karena dalam penjara tidak ada penghapusan dosa sebagai ganti hukuman di akhirat. Apabila di dunia orang yang bersalah telah dihukum sesuai syariat Islam, maka di akhirat orang tersebut sudah tidak diproses lagi, karena telah diproses sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kitab-Nya, Al Qur'an.

Di dalam Al Quran surat 5:44, Barangsiapa yang memutuskan sesuatu tidak dengan yang Allah turunkan, maka termasuk orang yang kafir". Demikian juga dalam ayat 45, dan 47. Jadi umat Islam harus menegakkan hukum syariat Islam secara keseluruhan, karena Allah telah memerintahkan agar ummat-Nya masuk Islam secara keseluruhan (QS 2:208).


Istilah hukum

Advokat

Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.

Advokat dan pengacara

Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan. Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja.

Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek adalah seseorang yang memegang izin praktek / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktek tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.

Konsultan hukum

Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi advokat.

Jaksa dan polisi

Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia adalah kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya. Apabila ditemukan unsur-unsur tindak pidana, baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku (tersangka) akan diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana yang diduga terjadi. Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa saksi-saksi dan alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang apabila dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan untuk dipersiapkan masa persidangannya di pengadilan. Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisa bukti-bukti serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat bahwa bukti atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk dilengkapi. Setelah lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan disidang dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status terdakwa berubah menjadi terpidana.

Sumber: http://makalah-gratis.blogspot.com