Entri Populer

BAHAYA KORUPSI DAN INTEGRITAS PENEGAK HUKUM

Korupsi, istilah yang mungkin sudah dikenal oleh kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Tidak sedikit siswa SD yang sudah mengenal sosok Bibit dan Chandra atau memahami maksud dari rangkaian kata ”Cicak Vs Buaya”. Semoga saja ini sebuah bentuk kesadaran dini dari generasi bangsa di masa depan agar tidak tertular penyakit korupsi, yang sepertinya tidak ada obatnya di zaman ini.

Hari ini, tanggal 9 Desember diperingati sebagai hari Anti Korupsi. Sudah banyak catatan-catatan penegakan hukum kasus korupsi di negeri ini. Ada catatan hitam, tetapi tidak sedikit pula catatan prestasi yang sudah dicapai oleh aparat penegak hukum, baik itu institusi Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun dalam satu tahun ini, awan gelap begitu menyelimuti upaya pemberantasan korupsi, termasuk upaya preventif yang ingin dilakukan. Hal ini terlihat dari cukup sulitnya beberapa pejabat tinggi negara dilingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk melaporkan jumlah aset kekayaannya sebelum maupun setelah menjabat.

Beberapa catatan prestasi yang masih terekam dalam ingatan kita, misalnya kasus Al Amin, Urip Tri Gunawan, Artalyta dan lain-lain, telah menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Kepercayaan tersebut secara khusus ditujukan kepada KPK, yang dinilai lebih independen. Sementara institusi lain, seperti Kepolisian dan kejaksaan perlu kerja ekstra untuk meraih kepercayaan itu. Tugas semakin berat dengan adanya dugaan kriminalisasi terhadap KPK oleh oknum kepolisian dan kejaksaan yang telah menyedot perhatian masyarakat begitu luas, media massa dan elektronik memberitakannya setiap hari, bahkan cybercommunity (masyarakat dunia maya) pun membentuk gerakan facebookers yang mendukung Bibit dan Chandra.


Bahaya Korupsi


Kongres PBB ke 8/1990 di Havana dalam laporannya menyatakan hakikat bahaya korupsi, yaitu dapat menghancurkan efektivitas potensial semua program pemerintah, dapat mengganggu/menghambat pembangunan dan menimbulkan korban individual dan kelompok. Sementara dalam Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo disebutkan bahwa korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, dan membahayakan pembangunan sosial, ekonomi dan politik.

Hasil dari UN Convention Against Corruption 2003 diantaranya menyatakan bahwa korupsi adalah ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat, merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi, merusak nilai-nilai moral dan keadilan, membahayakan “pembangunan yang berkelanjutan” dan “rule of law” dan mengancam stabilitas politik. Tidak jauh berbeda dengan hasil konvensi tersebut, Kongres PBB XI tahun 2005 juga menyatakan tentang hakikat bahaya korupsi, yaitu merintangi kemajuan sosial, ekonomi dan politik, sumber daya masyarakat dialokasikan tidak efisien, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga politik, produktivitas menurun, efisiensi administratif berkurang, merusak/mengurangi legitimasi tatanan politik dan mengganggu pembangunan ekonomi yang berakibat pada ketidakstabilan politik, lemahnya infrastruktur, sistem pendidikan dan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya.

Korupsi sangat berbahaya bagi sosial ekonomi masyarakat. Korupsi di bidang pendidikan misalnya, akan menghambat siswa belajar karena keterbatasan sarana dan prasarana.Uang 6,7 trilyun dalam kasus Centurygate setidaknya dapat diberikan sebagai beasiswa sebanyak 1 juta rupiah kepada 6.700.000 siswa.

Dengan melihat multi effect dari korupsi di atas, sangatlah wajar jika korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime dengan berbagai dimensinya, seperti economic crime, organized crime, white collar crime dan political crime. Dengan bentuknya yang extra ordinary crime, maka upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus ditempuh dengan cara-cara yang luar biasa pula. Jika bisa sesempurna mungkin sehingga tidak ada lagi celah bagi para koruptor untuk bebas, terlebih jika ada niat ingin melemahkan atau membubarkan KPK.

Refresh Polri, Kejaksaan dan KPK


Pasca ditetapkannya Antasari Azhar sebagai terdakwa dalam kasus pembunuhan Nazarudin, melemahnya kekuatan KPK sudah mulai terlihat. Bahkan bisa dikatakan integritasnya pun sedikit mulai dipertanyakan oleh publik. Tidak cukup sampai disitu saja. KPK kembali digoyang dengan penahanan Bibit dan Chandra. Berbeda dengan kasus sang mantan ketua, kasus cicak vs buaya ini lebih mendapat pembelaan dari masyarakat. Terlebih setelah rekaman percakapan dugaan kriminalisasi Bibit dan Chandra dibuka di Mahkamah Konstitusi. Perhatian dan desakan dari civil society ini membuat sibuk Istana Negara, sehingga Presiden harus membentuk Tim 8 dan akhir dari cerita ini dikeluarkannya SKPP oleh Kejaksaan dan Kepres pengaktifan kembali keduanya.
Meskipun SKPP tersebut masih menimbulkan pro kontra oleh sebagian kalangan, karena dinilai memiliki celah adanya upaya hukum.
Dalam pemberantasan korupsi tentunya tidak akan berakhir sampai disini. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Barda Nawawi Arief menyatakan, strategi kebijakan penanggulangan korupsi harus terfokus pada upaya melakukan law reform (pembaharuan hukum). Namun masalah korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah, maka seyogyanya dengan pendekatan integral. Jadi tidak hanya melakukan law reform tetapi disertai dengan social economic, political, moral and administrative reform.

Langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan sebagai upaya penyegaran kembali Polri, Kejaksaan dan KPK sempat ”bersitegang” ini adalah dengan kembali mensinergikan ketiga lembaga ini sebagai satu kesatuan dalam criminal justice system integrated (Sistem peradilan Pidana Terpadu). Masing-masing harus paham dengan batas kewenangannya dan egosentris kelembagaan harus segera dihilangkan. Tujuan pemberantasan korupsi, harus menjadi agenda utama dan komitmen ketiganya. Disamping itu harus ada ketegasan pucuk pimpinan untuk meresufle posisi-posisi strategis yang dinilai sudah menyimpang dan membahayakan integritas institusi penegak hukum. Ketika institusi hukum beserta aparatnya tidak lagi mendapat kepercayaan masyarakat, maka lambat laun hukum akan berpindah dari tangan hakim ke tangan rakyat.

Penulis: Dwi Haryadi, S.H.,M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar