Desakan untuk menciptakan good governance di birokrasi merupakan tuntutan universal
yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Gerakan antikorupsi bermunculan hampir di semua
negara di dunia.
Sejak United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dideklarasikan pada 31
Oktober 2003, banyak negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mendukungnya,
khususnya negara-negara berkembang yang paling menderita didera korupsi serta
merasakan akibatnya dalam bentuk kemiskinan, birokrasi yang tidak efisien, tindak
pidana pencucian uang (money laundering), defisit anggaran belanja negara, daya beli
yang lemah, serta beban pajak yang beragam dan mencekam kehidupan rakyat.
Tidak salah jika Executive Director United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC) Antonio Maria Costa dalam Conference of the States Parties to the United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) di Nusa Dua, Bali, 28 Januari 2008,
mengusulkan kepada negara anggota UNCAC agar berkonsentrasi dalam tiga hal dalam
memberantas korupsi.
Langkah pertama adalah hal apa yang telah dilakukan oleh negara anggota (state parties)
untuk memberantas korupsi dalam melaksanakan UNCAC Convention.
Langkah kedua adalah hal apa yang diperlukan dalam memberantas korupsi, termasuk
perlunya bantuan teknis (technical assistance).
Langkah ketiga adalah pengembangan atas mekanisme penilaian (review mechanism)
agar penyebaran korupsi dapat dikontrol dengan meninjau kembali upaya pemberantasan
korupsi sehingga tidak menyebar lebih luas dan di luar kontrol.
Semua itu dicanangkan dalam rangka mencegah penyebaran korupsi lebih luas.
Pencegahan korupsi antara lain dilakukan dengan menunjuk badan antikorupsi, seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk sejak lima tahun lalu. Upaya
pemberantasan korupsi dilakukan dengan menggunakan segala kewenangan yang
dimiliki sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tidak dapat disangkal hadirnya KPK membuat para koruptor kecut hati dan berupaya
untuk mengecilkan perannya dengan berbagai cara, seperti menyuap, kooptasi,
penggunaan jasa calo perkara, pemberian gratifikasi terang-terangan maupun terselubung,
penyediaan aneka fasilitas, memengaruhi lembaga penegak hukum agar tidak konsisten
memberantas korupsi, dan segala upaya untuk menghambat gerakan pemberantasan
korupsi.
Upaya memberantas korupsi
Pemberantasan korupsi telah menjadi gerakan global dan universal di seluruh dunia.
Dunia pun menjadi desa kecil (small village) terlebih setelah revolusi informasi. Kabar
dari tempat paling terisolasi pun dapat diserbarluaskan ke seluruh dunia, termasuk kabar
pemberantasan korupsi.
Hal itu merupakan ancaman bagi tindak pidana korupsi untuk bertahan. Para koruptor
akan melakukan apa pun guna melumpuhkan pemberantasan korupsi. Lambannya
pemberantasan korupsi di Indonesia antara lain karena belum adanya pengadilan yang
jujur dan berintegritas. Budaya kleptokrasi terjadi di hampir semua birokrasi. Juga belum
ada kebiasaan mengumumkan aset yang dimiliki sebelum dan sesudah seseorang menjadi
pejabat dan sulitnya menunjuk pejabat yang konsisten dalam memberantas korupsi.
Kita sudah memiliki UU Antikorupsi, yaitu UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Badan
antikorupsi, yaitu KPK, sudah ada sejak lima tahun lalu. Pengadilan tindak pidana
korupsi sudah dibentuk beberapa tahun lalu. Namun, kemauan politik untuk memberantas
korupsi belum memadai karena budaya korupsi begitu lama dibiarkan dan telah
menyebar ke semua aspek kehidupan.
Salah satu perlawanan terhadap gerakan pemberantasan korupsi adalah ketika ada
seorang hakim yang ditembak karena menjatuhkan putusan bersalah kepada seorang
terdakwa korupsi. Selain itu, sikap tidak setuju atas KKN juga ditunjukkan Menteri
Keuangan Sri Mulyani dengan pernyataan yang tegas mencekal 14 pengusaha batu bara
dan akhirnya beberapa perusahaan itu membayar royalti
Belum lama ini, dalam bidang pasar modal, Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan
putusan terhadap PT Bumi Resources Tbk. tentang penangguhan penjualan saham
perusahaan itu demi menjaga kredibilitas pasar modal. Namun, putusan itu dibatalkan
pemerintah. Hal itu menimbulkan kekecewaan sehingga Menkeu sempat diberitakan
mengancam akan mengundurkan diri. Jika ini terjadi, niscaya akan merupakan kerugian
besar bagi rakyat Indonesia dan kredibilitas pemerintah karena Sri Mulyani berperan
besar dalam meningkatkan kredibilitas pemerintah melalui gebrakannya mereformasi
Departemen Keuangan.
Selain itu, beberapa hari lalu Prof Romli Atmasasmita dijadikan tersangka tanpa lebih
dulu diperiksa dan bisa dianggap melanggar hak asasi manusia. Dalam hal ini, ada
perbedaan, yaitu saat KPK yang menjadikan Aulia Pohan sebagai tersangka setelah
diperoleh bukti-bukti nyata atas dugaan keterlibatannya dalam aliran dana YPPI-BI ke
beberapa anggota DPR melalui pemeriksaan yang lama dan teliti.
Sifat kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka ini berbeda dengan
tindakan yang dikenakan terhadap Romli Atmasasmita. Romli diduga terlibat korupsi
biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) pada Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Dephuk dan HAM).
Semua orang tahu Prof Romli Atmasasmita adalah arsitek pembentukan KPK dan
penyusunan RUU tentang KPK sebelum menjadi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Begitu pula dia bersama beberapa anggota DPR
dan DPD, seperti Soeripto, Ade Daud Nasution, Priyo Budi Santoso, dan Marwan
Batubara, serta beberapa LSM, seperti ICW di bawah pimpinan Teten Masduki,
Masyarakat Profesional Madani (MPM) di bawah pimpinan Ismed Hasan Putro, paling
gencar menyuarakan pemeriksaan kembali kasus-kasus BLBI dan mendesak
pengambilalihan pemeriksaan kasus BLBI dari Kejaksaan Agung ke KPK.
Gerakan nasional
Agenda pemberantasan korupsi harus ditingkatkan agar menjadi gerakan nasional.
Pemerintah harus lebih serius memberantas korupsi dan tak menerapkan standar ganda
dalam memberantas korupsi. Jangan sampai karena ”orang dalam” atau ”sumber
keuangan” dijadikan alasan untuk tidak menerapkan hukum secara tegas dan konsisten.
Kebijakan tebang pilih ini akan menyebabkan gerakan pemberantasan korupsi
mengendur dan muncul perlawanan dari para koruptor, baik melalui oknum penegak
hukum maupun penguasa. Semua ini dapat mengendurkan semangat pemberantasan
korupsi.
Penulis: Frans H Winarta Advokat di Jakarta; Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
Entri Populer
-
A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada saat ini banyak pihak yang menuntut kepada pemerintah Amerika Serikat untuk segera menutup penjara Guantana...
-
PERJANJIAN SEWA-MENYEWA No. ………….. Yang bertanda tangan di bawah ini : 1. Nama ………………. Pekerjaan …………. Dalam hal ini bertindak unt...
-
Ditulis oleh Ninik Rahayu Fakta Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. B...
-
Hal-hal mengenai Kontrak Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai hubungan bisnis antara orang dengan orang atau orang dengan pe...
-
A. Latar BelakangKeberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Te...
-
Apabila seseorang meninggal dunia, maka harta peninggalan almarhum akan jatuh ke tangan para ahli waris. Dari harta peninggalan yang menjad...
-
Mengenai Surat Keterangan waris sampai saat ini tidak ada peraturan yang mengatur secara spesifik. Dalam prakteknya dibedakan dengan dua ...
-
Tulisan ini akan memaparkan pokok-pokok permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Ketentuan...
-
Bahwa putusan sela ( interim meascure ) adalah merupakan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim sebelum hakim memeriksa pokok perkara baik perk...
-
Ada bebarapa undang-undang/peraturan tentang K-3 Pertambangan di antaranya: Peraturan Menteri Perburuhan No.7 Tahun 1964 tentang Syarat Kes...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar