Entri Populer

Peraturan Menteri Perdagangan Tidak Dapat Dijadikan Dasar Menarik Retribusi Izin Usaha Perdagangan

Ditulis oleh Septyarto P, SH*
PendahuluanPada awal tahun 2010 ini Pemerintah Kabupaten Sleman mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan yang akan menetapkan pungutan retribusi atas setiap pelayanan pendaftaran ulang surat izin usaha perdagangan. Rancangan peraturan daerah ini diajukan dengan dasar Peraturan  Menteri Perdagangan  Nomor 35/M-DAG/PER/9/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2007 khususnya pada Pasal 16 dan dikategorikan sebagai jenis retribusi perijinan tertentu.

Pe
mbahasanSesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi, yang mana undang-undang ini menganut stelsel tertutup, maka pemerintah daerah tidak dapat memungut pajak dan retribusi di luar yang telah ditentukan oleh undang- undang.
Adapun jenis retribusi perizinan tertentu yang ditetapkan dan boleh dipungut oleh pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
c. Retribusi Izin Gangguan;
d. Retribusi Izin Trayek; dan
e. Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Pungutan pajak atau retribusi selain yang ditentukan oleh undang-undang baru dapat dilakukan dengan persyaratan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 150 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Dalam hal jenis retribusi perizinan tertentu persyaratan tersebut meliputi:

Retribusi Perizinan Tertentu:
  1. perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi;
  2. perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum;
  3. biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan; dan
  4. ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Selain itu di dalam alinea kedua penjelasan umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 disebutkan “…ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.”
Dengan demikian ketentuan di dalam Peraturan Menteri Perdagangan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang memberikan delegasi kepada pemerintah daerah untuk memungut retribusi karena jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Peraturan Menteri Perdagangan tersebut juga tidak dapat dikatakan sebagai lex specialis karena tidak dalam posisi setingkat dengan undang-undang.
Hal yang berbeda jika ketentuan retribusi izin usaha perdagangan tersebut tercantum menjadi salah satu pasal di dalam peraturan pemerintah yang merupakan aturan pelaksana dari sebuah undang-undang. Maka hal itu dapat menjadi argumen hukum bahwa kriteria pasal 150 sudah terpenuhi karena ketentuan penetapan jenis retribusi tercantum di dalam sebuah peraturan  pemerintah.  Dalam  kenyataannya  penetapan  jenis  retribusi  ini  hanya  dilakukan melalui sebuah peraturan menteri.
Sebetulnya ketentuan mengenai jenis retribusi lain yang harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 150 itu sendiri masih diperdebatkan. Apakah peraturan pemerintah yang dimaksud oleh Pasal 150 tersebut adalah peraturan pemerintah yang akan ditetapkan sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 ataukah termasuk peraturan pemerintah yang telah ditetapkan sebelum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang didalamnya terdapat ketentuan yang menetapkan sebuah jenis retribusi. Contoh: Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah, salah satu pasalnya memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menarik retribusi izin pemanfaatan air tanah.
Jika lebih dicermati sebetulnya isi pasal di dalam Permendag tersebut juga saling bertentangan, misal Pasal 7 ayat (1) berbunyi :”SIUP berlaku selama perusahaan perdagangan menjalankan kegiatan usaha” tetapi ayat (2)  berbunyi:  “Perusahaan perdagangan sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib melakukan pendaftaran ulang setiap 5 (lima) tahun ditempat penerbitan SIUP”.  Ini berarti isi ayat (2) tersebut sudah mereduksi ketentuan dalam ayat (1) dan memberi batas waktu berlaku SIUP selama 5 tahun. Hal yang memperkuat bahwa ketentuan ayat (2) tersebut mereduksi ketentuan ayat (1) adalah pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan SIUP bila pengusaha tidak melakukan pendaftaran ulang.
Penulis menafsirkan bahwa perumusan ayat (2) tersebut dimaksudkan untuk melakukan fungsi pengawasan bagi pengusaha agar tidak melakukan ketentuan yang dilarang di dalam Pasal 5 ayat (1), tetapi seharusnya hal itu tidak dilakukan dengan mekanisme pendaftaran ulang yang mengakibatkan tereduksinya Pasal 7 ayat (1). Jika tujuannya adalah pengawasan maka sebaiknya dilakukan dengan mekanisme seperti inspeksi atau pelaporan. Dengan begitu pencabutan SIUP hanya boleh dilakukan jika di dalam sebuah inspeksi atau laporan diketahui seorang pengusaha melakukan pelanggaran Pasal 5 ayat (1)  bukan karena tidak melakukan pendaftaran ulang.
Lebih jauh lagi mekanisme pendaftaran ulang  ini justru  tidak mendukung  semangat Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2008 tentang UMKM  untuk  mendorong  pertumbuhan ekonomi dan usaha rakyat. Alih-alih pemerintah seharusnya mendukung usaha perdagangan rakyat dengan memberi keringanan, justru memberi beban dengan pungutan retribusi yang berulang-ulang.
PenutupBerdasarkan uraian yang telah dikemukanan pada bagian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri  Perdagangan Nomor 35/M-DAG/PER/9/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2007 tidak dapat dijadikan dasar pemungutan retribusi karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi. Selain itu substansi di dalam Peraturan Menteri tersebut juga masih terdapat kontradiksi antara ketentuan Pasal 7 ayat (2) mengenai pendaftaran ulang SIUP yang mereduksi ketentuan Pasal 7 ayat (1).
Lebih jauh lagi mekanisme pendaftaran ulang  ini justru  tidak mendukung  semangat Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2008 tentang  UMKM  untuk  mendorong pertumbuhan ekonomi dan usaha rakyat. Alih-alih pemerintah seharusnya mendukung usaha perdagangan rakyat dengan memberi keringanan, justru memberi beban dengan pungutan retribusi yang berulang-ulang.

* Penulis adalah Perancang pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar